. Ahlan wa Sahlan: _Catatan akhir tahun_

Jumat, 25 November 2011

_Catatan akhir tahun_

Bismillahirrahmanirrahim ...

Assalamu'alaikum warahmatullahi Wabarakatuh ...

Sahabat ...

       Tak terasa kita tengah berada di penghujung tahun 1432 H. Sebelum fajar di tahun esok menjelang, ada baiknya kita melihat kembali lembaran-lembaran kehidupan yang telah kita jalani. Iya, melihat kembali masa lalu. Bukan untuk terus tenggelam, tapi untuk bangkit menjadi manusia baru di sisa waktu yang ada.

       Bergantinya siang dan malam, hari demi hari, musim demi musim, tahun demi tahun semestinya membuat kita sadar bahwa saat ini kita sedang melakukan sebuah perjalanan. Sejak kita dilahirkan, sejak saat itu pula pengembaran kita dimulai, lalu kita belajar untuk mengerti bahwa dunia hanyalah tempat singgah dan  setelah itu tak ada lagi kecuali dua pilihan, Indahnya surga atau pedihnya neraka wal iyaadzu billah.

        Muhasabah .. itulah hal yang paling tepat untuk kita lakukan sebelum memasuki tahun baru. Muhasabah berarti introspeksi, melihat kembali jalan hidup yang pernah kita lalui, apakah ada amal sholeh yang telah kita persembahkan untuk terus kita tingkatkan dimasa yang akan datang, atau kekurangan-kekurangan yang kelak  akan  kita lengkapi disaat fajar esok menjelang. Imam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Hendaknya setiap hamba memiliki waktu-waktu untuk dia menyendiri di dalamnya  dengan do’a, dzikir,shalat, tafakkur. Dan untuk melakukan muhasabah terhadap dirinya serta memperbaiki kondisi  hatinya.”(Majmu’ul fataawa Jilid:10)

         Ditengah begulirnya masa, kita harus meluangkan waktu untuk merespon perubahan-perubahan dalam hidup ini. Melihat kembali keadaan diri dengan usia yang pada hakikatnya semakin berkurang. Melihat berarti mengevaluasi untuk kemudian merevisinya ke arah yang lebih baik. Ini bukan persoalan kecil, ditengah banyaknya orang yang tidak mau melihat kembali perjalanan hidupnya, apalagi berfikir untuk merevisinya. Di butuhkan kesadaran yang mendalam. Iya, kesadaran bahwa semua akan berakhir dan akan berbalas. Kesadaran, bahwa kita hanya akan mengetam apa yang kita tanam hari ini. Kesadran, bahwa kita sedang berpacu dengan waktu. Kesadran, bahwa kematian lebih cepat datangnya dari semua angan-angan yang kita miliki. Kita tak boleh lengah sedikitpun, Terbuai oleh kenikmatan sesaat hingga hidup digerogoti usia dan sampai pada keadaan tak lagi bisa melakukan perubahan yang berarti, karena renta, atau karena usia yang memang sudah selesai waktunya.
Hari ini, betapa banyak di antara kita yang tak pernah peduli dengan perguliran waktu dan membiarkannya mengalir sepeti air tanpa target, tanpa rencana dan tanpa tujuan yang jelas. Padahal waktu terlalu mahal untuk dibiarkan mengalir seperti air. Berapa banyak diantara kita yang membiarkan waktu berlalu dengan produktivitas kebaikan yang rendah, sementara orang lain telah memiliki saham kebaikan dimana-mana. Padahal Rashulullah shallahu alaihi telah bersabda: “Bersungguh-sungguhlah terhadap apa yang mendatangkan manfaat bagimu dan jangan merasa lemah”. Bahkan soal efisiensi waktu  beliau telah mengisyaratkan dalam sabdanya:” Diantara ciri baiknya keislaman seseorang, adalah ketika ia meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat baginya”.(HR. Tirmidzi)

Sahabat...
         Dunia yang begitu luas seharusnya memberi kita ruang kesadaran, bahwa sejatinya hidup adalah perlombaan. Setidaknya dengan  waktu. Di usia kita yang entah berapa, kita mesti bertanya. Seberapa jauhkah kita melangkah? dan seberapa banyak bekal yang telah kita siapkan? Ini bukan soal dimensi usia dimana seorang mengurutkan zaman produktifitasnya  ke dalam fase yang tidak jelas: Kecil bermain, muda foya-foya, lalu tua bertaubat dari dosa. Ini murni soal berdedikasi secara baik dan maksimal. Sebab pada  akhir dan kesudahannya, hidup memang perlombaan mengejar surga dan menggapai keridhaan-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman “Maka berlomba-lombalah kalian dalam kebaikan”(QS: Al baqarah :148). Bahkan dalam menggapai ampunan dan surga, Allah azza wa Jalla menyuruh kita untuk bergegas, Allah berfirman: “Dan bergegaslah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa.”(QS: Ali’ Imran : 133). Imam Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata : “Ketika suatu kaum mendengar seruan,”Maka berlomba-lombalah kalian dalam kebaikan”, dan seruan,”Dan bergegaslah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertaqwa”, mereka memahami bahwa maksud dari ayat ini adalah,  hendaknya mereka bersungguh-sungguh agar setiap dari mereka menjadi pemenang menuju kemuliaan itu. Maka dahulu, perlombaan mereka adalah pada tingkatan-tingkatan akhirat. Kemudian datanglah sesudah mereka kaum yang berlomba-lomba dalam hal-hal duniawi dengan segala bagiannya yang bgitu cepat sirna”(Lathaaiful maarif). Dalam surat al Muthaffifiin, Tatkala Allah menggambarkarkan kenikmatan penghuni surga, pada akhir ayat ke 26 Dia-pun menegaskan kepada kita untuk melakukan perlombaan, sebagaimana termaktub: ”Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” Bahkan Rasulullah shallahu alaihi wasallam bersabda: ”Begegaslah kalian dalam melakukan amal shaleh, sebab akan terjadi fitnah-fitnah (yang datang) bagaikan potongan-potongan malam yang gulita” (HR. Muslim, Ahmad, dan At Tirmidzi). Ayat-ayat dan hadits di atas setidaknya menegaskan kembali kepada kita, bahwa berlomba-lomba dalam kebaikan, beradu cepat dan mutu adalah nafas dan naluri kehidupan seorang mukmin.

Sahabat....
         Hidup Ini juga soal menyikapi perguliran waktu, dan menyadari bahwa semua akan sampai pada satu titik yang pasti. Seperti seorang musafir, begitulah Rasulullah shallahu alaihi wasallam menggambarkan kehidupan ini. Beliau bersabda: “Apa urusanku dengan dunia, sungguh perumpamaanku dengan dunia laksana seorang pengembara yang berteduh di bawah sebuah pohon, kemudian berlalu dan meninggalkannya”(HR. Ahmad, Tirmidzi, Ibnu Majah). Di kesempatan yang lain, ia mengajarkan umatnya bagaimana semestinya menyikapi dunia, Sahabat Anas bin Malik Radhiallahu anhu menuturkan bahwa: “ Suatu ketika Rasulullah shallahu alaihi wasallam memegang pundakku dan berkata, ”Jadilah engkau di dunia ini seperti orang asing atau  pelintas jalan.” Ibnu Umar berkata: ”Jika engkau berada di sore hari, maka jangan menunggu pagi tiba. Dan jika engkau berada di pagi hari, maka jangan menunggu sore tiba, pergunakan masa sehatmu untuk masa sakitmu, dan kehidupanmu untuk kematianmu.”(HR. Bukhari)

         Di tengah padatnya rutinitas kerja, kita harus mengerti begitu banyak soal logika kehidupan. Logika hidup adalah musafir yang hanya mampir untuk berteduh atau logika sampan kecil yang sedang mengarungi samudra luas dan harus berbekal cukup. Logika hidup adalah waktu, siapa yang membunuh waktu maka berarti ia membunuh hidupnya. Hanya yang menggunakan waktunya dengan baik, tepat dan benar yang akan menuai kebahagiaan di akhir langkah hidupnya. Logika tentang mimpi manusia yang panjang serta ajal yang setiap saat mengintai, atau logika hidup tentang perjalan yang beradu dengan godaan serta panggilan syaitan yang terus melambai sepanjang perjalanan. di atas semua rel logika perjalanan itulah hidup sebagian kita menjadi berarti atau mungkin berbalik tak ubahnya seperti kereta tua. Iya, kereta tua yang hanya memeberi ruang pada sisi sejarah atau kereta tua yang tak kunjung mengantarkan penumpangnya pada cita-cita. Dan Itu tak boleh terjadi. Sebab sepotong hidup hanya datang sekali, sesudah itu secepat pula ia akan pergi. Bahkan alangkah cepatnya menghilang. Pagi datang dan segaera disapu siang, sore memburu tiba-tiba dilipat malam. Gerak dan pilihan untuk terus maju, adalah prinsip besar yang harus kita pilih sebelum semuanya terlambat.  Itulah logika hidup seorang muslim.

          Siapapun kita, hendaklah meletakkan prinsip mendasar dalam hidup “Bahwa kita terlahir untuk mengabdi kepada Allah . kitapun harus mengerti sedang di jalan apa berlalu dan ke arah mana menuju, agar waktunya tak berlalu begitu saja tanpa amal yang berati. Hal ini seperti yang di gambarkan oleh sahabat yang mulia Amiirul mu’minin Ali bin abi Thalib radhiallahu anhu tatkala ia berkata ; ”Sesungguhnya dunia telah pergi dan berlalu dan akhirat telah datang dihadapan, dan keduanya memiliki anak-anak . Maka jadilah kalian anak-anak akhirat dan jangan  menjadi  anak anak dunia, karena hari ini (hari-hari dunia) adalah hari untuk beramal dan bukan (hari) perhitungan dan esok adalah (hari) perhitungan dan bukan (hari untuk) amal.” Atau seperti gambaran Al Hasan Al Bashri dalam ungkapannya yang masyhur, “ wahai anak Adam, sesungguhnya engkau adalah kumpulan hari-hari. Jika berlalu sebagian dari harimu ,maka berlalu pula sebagian dari dirimu”.  Dalam  kesempatan yang lain dia berkata: “wahai anak Adam, sesungguhnya engkau berada diatara dua kenderaan yang siap mengantarkanmu. Siang mengantarkanmu pada malam dan malam pun mengantarkanmu pada siang dan selanjutnya keduanya akan mengantarkanmu pada akhirat, maka siapakah yang lebih besar marabahaya darimu wahai anak adam.? Sungguh kematian telah diikatkan diatas ubun-ubun setiap kalian, dan dunia dilipat dari belakang kalian.”

           Ungkapa-ungkapan seperti di atas  semestinya terhujam dalam sanubari setiap muslim, agar waktunya senantiasa disibukkan oleh kebajikan dalam penghambaan yang tulus kepada Allah. Sebab seonggok daging yang bernama manusia itu, tercipta untuk sebuah tugas mulia yaitu menjadi Hamba Allah. Sebagaimana dalam firman-Nya: “dan tidaklah aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah kepada-Ku" (QS: Adz Dzaariyat : 56).”Dan sembahlah Tuhanmu, sampai datang kepadamu sesuatu yang diyakini (maut). (QS; Al Hijr : 99). Iya, Menjadi seorang hamba dan bukan menjadi selainnya, hingga Allah mengakhiri semua cerita tentang kita.

“Wahai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridho dan diridhoi-Nya. Masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku. Dan masuklah ke dalam surga-Ku”
(QS Al Fajr:27-30)

Wallahu ta’ala a’lam
Washallahu ala nabiyyina Muhammadin wa alihi wa shahbihi wasallim

ACT, Madinah Al Munawwarah, Kamis 28 Dzulhijjah 1432 H/24 November 2011 M

Sumber : http://www.facebook.com/notes/aan-chandra-thalib/catatan-akhir-tahun/314481448579227

0 komentar: