. Ahlan wa Sahlan: Mei 2011

Selasa, 31 Mei 2011

_Dari HATI yang PENUH CINTA_

0 komentar
Bismillah...

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh,…

Kepada :
Saudariku yang ku cintai karena Allah
Tanpa bermaksud menggurui aku menulis surat ini,…
Berharap sesak di dada akan segera berkurang jika
Surat ini telah sampai padamu,…

Sebagai saudari yang mengaku mencintaimu karena Allah
Aku punya kewajiban untuk menjagamu… ,menolongmu dan menasehatimu
Dan biar surat ini jadi ingatan untukku dan pula untukmu,..

Surat ini kutujukan kepada engkau saudariku….
Saudari yang saat ini telah memiliki azzam yang kuat untuk meninggalkan cinta semu pada laki – laki yang belum jelas akan menjadi suami mu atau tidak,….

Cinta yang pernah membuat mu buta,… galau,… bahkan tak mengenal dirimu…
Cinta yang membuat mu meneteskan air mata yang tak tertahankan,….
Membuat mu melamun dan mengganggu warasnya pikiranmu,….

Cinta yang membuat hatimu rapuh,..
Cinta yang hanya menyakitimu,…
Cinta yang menjadikan dirimu kehilangan cita – cita bahkan mungkin kehilangan harga diri,…..

Sekarang katakan,..Selamat tinggal pada cinta bodoh itu,…
Kini dirimu adalah mawar yang indah dengan duri – durinya,….
Duri – duri yang siap menusuk jika ada yang hendak memetik mu tanpa izin empunya…..

Saudariku,…..
Engkau telah menyadari cinta yang hadir padamu itu hanyalah sebuah cinta semu,…
Maka janganlah engkau biarkan cinta semu yang lain mengusikmu.,….

Engkau,...Saudariku,…
Pernah jatuh kedalam satu jurang jika bukan karena Allah mencintaimu …
mungkin engkau tak akan pernah menyadari bahwa dirimu
telah terjerembab dalam kemaksiatan yang nyata……

Engkau tau,… engkau bukan satu – satunya wanita korban laki – laki yang jahil itu,…
Begitu banyak saudari ku yang lain juga mengalami hal yang sama,..
Berjuta – juta dari mereka pernah berada dalam titik nadir sekalipun
Tapi mereka cerdas dan kini mereka sangat utama dalam perubahan…..
Ku ingin engkau pun seperti mereka…

Ketahuilah tak ada manusia tanpa cela,… karena kita bukan orang – orang yang ma’sum…
Tapi setiap cela yang pernah kita punya,. Kini tutupilah dengan perubahan indahnya ahlakmu,….

Namun jika engkau tetap seperti dahulu,… maka ku katakan…
Kerugian terbesar lah buat dirimu……

Jangan engkau naifkan,… Cinta yang suci dihatimu,…
Cinta yang suci itu hanya diperuntukkan buat cinta yang suci pula,..
Bukan pada laki – laki hidung belang yang hanya melelahkanmu,…

Jangan engkau berkata,.. “Aku tak bisa hidup tanpa dia kekasihku….”
Duhai saudariku,.. tidakkah engkau sadar bahwa engkau sedang menduakan Allah yang telah menghidupkan mu dan kelak mematikanmu…??


Siapa dia yang mampu membuatmu tak bisa hidup????????????
Bahkan engkau tau,… laki – laki yang engkau tangisi itu…
Yang dengan berani nya kau katakan tak bisa hidup tanpanya…..
Jika saja Allah mencabut nyawanya,… sedetik pun ia tak bisa menolak,….
Lantas bagaimana mungkin engkau tak bisa hidup tanpanya……??????????????

Aku mengerti jika engkau butuh waktu untuk memulihkan perasaanmu
yang sedang di mabuk cinta semu itu…..
Tapi ketahuilah,…engkau hanya membutuhkan waktu 1 bulan
untuk memperbaiki hatimu bahkan bisa kurang dari 1 bulan,….
Asal engkau punya niat dan tekad yang kuat,….
Niat berubah untuk mengharapkan ridho Allah,…
Karena jika tak ada niat dan tekad yang kuat,…
Bertahun – tahun pun engkau akan berada dalam jeratan yang sama…..
Semua menjadi sia –sia….

Saudariku,…
Jangan pula engkau katakan,… bahwa dialah cinta terakhirmu….
Saudariku,. Engkau kah yang berhak mengatur cinta pertama dan terakhir???
Bukan rasa cinta itu anugerah yang Indah dari Allah….
Dan cukup Allah lah saja yang tau siapa cinta terakhirmu……
Jangan dahului ketentuan Allah untukmu,….

Cukup saudariku,…
Telah cukup dosa yang kita perbuat,….
Jika bukan karena Allah menaruh kasihan pada kita,…
Dan jika saja tiap dosa yang kita buat itu memberikan bekas luka di tubuh kita,..
Maka sungguh saat ini,..tubuh ini akan berbau busuk karena dosa – dosa itu,…

Tapi sungguh Allah itu Maha Pemurah,…
Maha Penyayang,,….
Hingga kini diri kita mulus tanpa luka….

Duhai saudariku,.. ku sudahi dulu surat ku ini,..
Insya Allah surat ku yang lain akan kuberikan jika engkau telah benar – benar meninggalkan cinta semu itu….

Sumber : http://www.facebook.com/notes/mimbar-dakwah-islam/dari-hati-yang-penuh-cinta/10150208508815817 (Mimbar Dakwah Islam)
Read more ...

Jumat, 27 Mei 2011

_Peneduh Jiwaku Adalah Suamiku_

0 komentar
Bismillah...

Assalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh...

Surga atau neraka dunia ternyata dapat dicipta dan dipilih dalam sebuah rumah tangga. Semua tergantung cantiknya kerjasama antara sang pimpinan yaitu suami dengan para "rakyat"nya. Kelihaian suami dalam menyikapi serta menanggapi emosi permaisurinya yang kadang naik turun tergantung selera dan keadaan perasaan, sudah barang tentu turut menentukan keberlangsungan rumah tangga itu. Disinilah sebenarnya kesempatan bagi para laki- laki yang ingin menguji kualitas diri dalam kepemimpinan, pengayoman serta penguasaan, khususnya terhadap para istri mereka.
Ya, para istri yang sejatinya menjadi guru atas kesabaran suami, karena kemanjaan,serta kebandelan mereka. Jika para suami menyikapinya secara positif, maka bukan amarah yang akan mereka tampilkan melainkan perasaan kemakluman atas seorang wanita yang mereka cintai, yang menjadi ladang amal bagi mereka sebagai jembatan pengabdian kepada Allah.

Bagaimana seorang istri tidak bahagia mempunyai seorang suami yang mempunyai penguasaan diri yang cukup atas emosi, ego serta kelemahannya sendiri. Dan ajaibnya, suami mengemas semua itu dengan caranya yang sangat laki- laki, sehingga yang nampak adalah kekuatannya yang tidak mungkin tidak, akan melahirkan sebuah pujian. Istri adalah orang terdekat suami, yang mengetahui sebagian besar baik dan buruknya mereka. Maka, Ketika suami sudah dapat memukau dan menyejukkan hati sang istri, maka orang terjauh sekalipun akan menyayangi sang suami. Apa gunanya bila mengutamakan pandangan serta pendapat orang lain yang mungkin tidak memberikan andil penting dalam hidup para suami, sedangkan kehadiran si suami sendiri dirumah sama sekali tidak menentramkan keluarga?.

Senyum serta keistiqomahan para suami untuk tetap bersikap ramah dan menjaga lidah serta tangan mereka dengan baik, sejatinya menghadirkan rasa malu dari para istri yang justru akan memaki diri mereka sendiri karena keras kepala mereka dalam sebuah kesalahan. Seorang istri juga mempunyai naluri untuk berbuat dan bersikap baik, maka dari itu, ketika mereka berbuat salah, sebenarnya mereka akan secara sadar mengetahui dan mengakui kesalahan tersebut. Namun mungkin ego dan gengsi menahan tangan dan mulut mereka untuk merendahkan diri dan meminta maaf. Disinilah pentingnya kebesaran hati seorang suami untuk memaafkan pasangannya. Tak perlu banyak kata, tak perlu banyak action. Dengan tetap bersikap baik, para suami akan sudah memperoleh gelar kebesaran serta kewibawaannya dihadapan sang istri.

Subhanallah, siapa wanita didunia ini yang tidak menginginkan suami yang sangat penyayang dan sabar menghadapinya. Bahkan lebih memahaminya dari diri sang istri sendiri. Betapa sangat dalam dan berartinya nasehat dari seseorang yang dengan penuh wibawa mengayomi kemanjaan serta kebandelan. Sang istri akan merasa bahwa suami adalah separuh jiwanya karena yang paling memenuhi kebutuhan batin atas penghargaan orang lain adalah suaminya sendiri. Hal ini tentu sangatlah menyentuh dan benar- benar menyentuh hatinya. Dalam diri istri muncul kekaguman karena sama sekali tiada hadir amarah dari suami. Hanya pemakluman dan pengertian yang penuh kebijaksanaan serta senyum tulus yang meneduhkan, mendamaikan. Waktu seolah tiada masalah ketika berlalu hanya demi mendengarkan keluh kesah serta efek dari kepenatan hidup dari sang istri.
Yah begitulah pinta dari kaum para kaum hawa, didengarkan. Mereka bahkan lupa untuk berpikir penting atau tidak keluhan mereka, yang mereka tahu hanyalah ingin didengarkan. Mereka mungkin tidak tahu, logik atau tidak alasan kesedihan dan segala air mata mereka, yang mereka tahu hanya kebutuhan untuk dipahami. Dan Allah memang sang maha memahami, di beriNya keseimbangan hidup dalam jiwa rapuh para wanita dengan kekuatan hati, kewibawaan serta kebijaksanaan laki- laki.

Maka cukuplah para suami menyadari kekuatan mereka dalam "pengasuhan"nya terhadap sang istri. Surga dunia pun dapat mereka ciptakan dalam hangatnya kedamaian rumah tangga lewat kewibawaan dan kebijaksanaan sang nahkoda rumah tangga tersebut. Tak perlu caci maki, teriakan atau pamer kekuatan, karena semua itu justru akan menghilangkan kebesaran anda sebagai seorang pemimpin dirumah. Dan seorang suami yang memuliakan istrinya, tidak lain adalah memuliakan dirinya juga, dihadapan Allah dan para manusia di sekelilingnya

(Syahidah)

sumber : Aw Mut Syahidan  (http://www.facebook.com/notes/aw-mut-syahidan/peneduh-jiwaku-adalah-suamiku/10150197986623819)
Read more ...

_Kisah Islamnya Bocah Amerika_

0 komentar
Bismillah...

Assalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh...

Keunikan dari kisah masuk Islamnya bocah ini adalah bahwa ibunya menghadirkan untuknya buku-buku agama dari semua agama. Setelah membaca dengan penuh teliti, akhirnya dia memutuskan untuk menjadi seorang muslim sebelum dia bertemu dengan seorang muslimpun.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
كُلُّ مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ
”Setiap bayi yang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, atau Nashrani, atau Majusi” (HR. Al-Bukhari no. 1296).

Kisah kita kali ini, tidak lain adalah sebuah bukti yang membenarkan hadits tersebut di atas.
Alexander Pertz dilahirkan dari kedua orang tua Nashrani pada tahun 1990 M. Sejak awal ibunya telah memutuskan untuk membiarkannya memilih agamanya jauh dari pengaruh keluarga atau masyarakat. Begitu dia bisa membaca dan menulis maka ibunya menghadirkan untuknya buku-buku agama dari seluruh agama, baik agama langit atau agama bumi. Setelah membaca dengan mendalam, Alexander memutuskan untuk menjadi seorang muslim.

Dia sangat cinta dengan agama ini sampai pada tingkatan dia mempelajari shalat, dan mengerti banyak hukum-hukum syar’i, membaca sejarah Islam, mempelajari banyak kalimat bahasa Arab, menghafal sebagian surat, dan belajar adzan.

Semua itu tanpa bertemu dengan seorang muslimpun. Berdasarkan bacaan-bacaan tersebut dia memutuskan untuk menjadikan namanya yang baru adalah Muhammad ’Abdullah, dengan tujuan agar mendapatkan keberkahan Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam yang dia cintai sejak masih kecil.

Salah seorang wartawan muslim menemuinya, dan terjadilah dialog berikut :

Sebelum wartawan tersebut bertanya kepadanya, bocah tersebut bertanya kepada wartawan itu : ”Apakah engkau seorang yang hafal A-Qur’an ?” (dia bertanya dalam bahasa ’Arab).
Wartawan itu berkata : ”Tidak”. Kemudian ia (wartawan tersebut) mengatakan : ”Dan aku merasakan kekecewaannya (anak itu) atas jawabaku ini”.

Dia berkata : ”Akan tetapi engkau adalah seorang muslim, dan mengerti bahasa Arab, bukankah demikian ?”. Dia menghujaniku dengan banyak pertanyaan. ”Apakah engkau telah menunaikan ibadah haji ? Apakah engkau telah menunaikan ’umrah ? Bagaimana engkau bisa mendapatkan pakaian ihram ? Apakah pakaian ihram tersebut mahal ? Apakah mungkin aku membelinya di sini, ataukah mereka hanya menjualnya di Arab Saudi saja ? Kesulitan apa sajakah yang engkau alami, dengan keberadaanmu sebagai seorang muslim di komunitas yang bukan Islami ?”.

Wartawan tersebut menceritakan keadaannya, seraya berkata ; ”Aku sudah menduga dia menyebutkan tentang beberapa hal berkenaan dengan kawan-kawannya, atau gurunya, sesuatu yang berkenaan dengan makan atau minumnya, peci putih yang dikenakannya, ghutrah (surban) yang dia lingkarkan di kepalanya dengan model Yaman, atau berdirinya di kebun umum untuk mengumandangkan adzan sebelum dia shalat. Akan tetapi jawabannya tidak disangka-sangka, dia dengan tenang bercampur penyesalan mengatakan : ”Terkadang aku kehilangan sebagian shalat karena ketidaktahuanku tentang waktu-waktu shalat”.

Wartawan (selanjutnya disingkat W) : ”Apa yang membuatmu tertarik pada Islam ? Mengapa engkau memilih Islam, tidak yang lain saja ?”. Dia diam sesaat kemudian menjawab.
Muhammad (selanjutnya disingkat M) : ”Aku tidak tahu, segala yang aku ketahui adalah dari yang aku baca tentangnya, dan setiap kali aku menambah bacaanku, maka semakin banyak kecintaanku”.
W : ”Apakah engkau telah puasa Ramadlan ?”.
M – tersenyum – dan berkata : ”Ya, aku telah puasa Ramadlan yang lalu secara sempurna alhamdulillah, dan itu adalah pertama kalinya aku berpuasa di dalamnya. Dulunya sulit, terlebih pada hari-hari pertama”. Kemudian dia meneruskan : ”Ayahku telah menakutiku bahwa aku tidak akan mampu berpuasa, akan tetapi aku berpuasa dan tidak mempercayai hal tersebut”.
W : ”Apakah cita-citamu ?”.
M – dengan cepat ia menjawab – : ”Aku memiliki banyak cita-cita. Aku berkeinginan untuk pergi ke Makkah dan mencium Hajar Aswad”.
W : ”Sungguh aku perhatikan bahwa keinginanmu untuk menunaikan ibadah haji adalah sangat besar. Adakah penyebab hal tersebut ?”.
Ibu Muhamad untuk pertama kalinya ikut angkat bicara, dia berkata : ”Sesungguhnya gambar Ka’bah telah memenuhi kamarnya, sebagian manusia menyangka bahwa apa yang dia lewati pada saat sekarang hanyalah semacam khayalan, semacam angan yang akan berhenti pada suatu hari. Akan tetapi mereka tidak mengetahui bahwa dia tidak hanya sekedar serius, melainkan mengimaninya dengan sangat dalam sampai pada tingkatan yang tidak bisa dirasakan oleh orang lain”.
Tampaklah senyuman di wajah Muhammad ’Abdullah, dia melihat ibunya membelanya. Kemudian dia memberikan keterangan kepada ibunya tentang thawaf di sekitar Ka’bah, dan bagaimanakah haji sebagai sebuah lambang persamaan antar sesama manusia sebagaimana Tuhan telah menciptakan mereka tanpa memandang perbedaan warna kulit, bangsa, kaya, atau miskin.
Kemudian dia meneruskan : ”Sesungguhnya aku berusaha mengumpulkan sisa dari uang sakuku setiap minggunya agar aku bisa pergi ke Makkah Al-Mukarramah pada suatu hari. Aku telah mendengar bahwa perjalanan ke sana membutuhkan biaya 4 ribu dollar, dan sekarang aku mempunyai 300 dollar”.
Ibunya menimpalinya seraya berkata untuk berusaha menghilangkan kesan keteledorannya : ”Aku sama sekali tidak keberatan dan menghalanginya pergi ke Makkah, akan tetapi kami tidak memiliki cukup uang untuk mengirimnya dalam waktu dekat ini”.
W : ”Apakah cita-citamu yang lain ?”.
M : “Aku bercita-cita agar Palestina kembali ke tangan kaum muslimin. Ini adalah bumi mereka yang dicuri oleh orang-orang Israel (Yahudi) dari mereka”.
Ibunya melihat kepadanya dengan penuh keheranan. Maka diapun memberikan isyarat bahwa sebelumnya telah terjadi perdebatan antara dia dengan ibunya sekitar tema ini.
M : ”Ibu, engkau belum membaca sejarah, bacalah sejarah, sungguh benar-benar telah terjadi perampasan terhadap Palestina”.
W : ”Apakah negkau mempunyai cita-cita lain ?”.
M : “Cita-citaku adalah aku ingin belajar bahasa Arab, dan menghafal Al-Qur’an”.
W : “Apakah engkau berkeinginan belajar di negeri Islam ?”.
Maka dia menjawab dengan meyakinkan : “Tentu”.
W : ”Apakah engkau mendapati kesulitan dalam masalah makanan ? Bagaimana engkau menghindari daging babi ?”.
M : ”Babi adalah hewan yang sangat kotor dan menjijikkan. Aku sangat heran, bagaimanakah mereka memakan dagingnya. Keluargaku mengetahui bahwa aku tidak memakan daging babi, oleh karena itu mereka tidak menghidangkannya untukku. Dan jika kami pergi ke restoran, maka aku kabarkan kepada mereka bahwa aku tidak memakan daging babi”.
W : ”Apakah engkau shalat di sekolahan ?”.
M : ”Ya, aku telah membuat sebuah tempat rahasia di perpustakaan yang aku shalat di sana setiap hari”.

Datanglah waktu shalat maghrib, maka dia melihatku seraya berkata : ”Apakah engkau mengijinkanku untuk mengumandangkan adzan ?”.

Kemudian dia berdiri dan adzan pada waktu air mata mengalir di kedua mataku.

[selesai – ditulis kembali oleh Abul-Jauzaa’ dari Majalah Qiblati, edisi 07 tahun II – April 2007M/Rabi’ul-Awwal 1428 H].

sumber : http://alfanarku.wordpress.com/2009/10/03/kisah-islamnya-bocah-amerika/
Read more ...

Kamis, 26 Mei 2011

_Sepotong Kue Tart dan Secuil Pahala_

0 komentar
Bismillah...

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh...


Bayangkanlah … Anda ditawari sepotong kue tart, yang terdiri dari kue bolu coklat yang dilapisi whipping cream yang lembut, ditambah dengan serutan coklat di atasnya, plus stroberi yang rasa asam-manisnya semakin melengkapi kenikmatan kue tart tersebut.

Lalu, Anda ditanya, “Ingin pilih yang mana? Kertas alas kuenya, secuil whipping cream-nya, kue bolunya saja, atau ingin kue tart yang utuh?”

Sepertinya, nyaris tak mungkin jika Anda menjawab, “Kertas alas kuenya saja.” Benar begitu, bukan?

Jika itu berlaku dalam permisalan perkara dunia, maka bagaimana lagi dengan perkara pahala akhirat? Tentunya jauh lebih mulia! Terdapat berbagai jenis tawaran pahala yang menanti Anda dalam ibadah sunah. Anda boleh mengambil separuh, seujung jari, atau mungkin seluruhnya. Semuanya adalah pilihan yang Anda ambil sendiri.

Maka, apakah jawaban Anda, jika ada yang bertanya, “Anda lebih suka yang mana: mengucap salam atau menjawab salam secara lengkap lalu beroleh pahala secara sempurna, atau mengucap atau menjawab salam dengan singkat sesingkat-singkatnya lalu hanya beroleh sepotong pahala atau bahkan tak beroleh secuil pun pahala?”
 Sebagai manusia yang fitrahnya berharap surga, tentunya Anda ingin pahala yang sempurna, bukan?

Assalamu ‘alaikum warahmatullah wabarakatuh

Ada fenomena menarik di masa serba instan ini. Yaitu, betapa meluasnya bentuk “salam instan”: Ass, Askm, Ass. Wr. Wb., Askum, Aslm, dan berbagai “kreativitas” yang tersalurkan tidak pada tempatnya ini. Apa makna rentetan huruf-huruf tersebut? Apakah ada yang bermaksud melafalkan “assalamu ‘alaikum” dengan sebatas mewakilkannya pada tiga huruf: “Ass”, atau mungkin ada yang menambah sedikit huruf, menjadi: Askm, Ass. Wr. Wb, Askum, atau Aslm?

Bagaimana kita membaca huruf-huruf ini: Askm? Tentunya, cara membacanya adalah: a-es-ka-em, bukannya “assalamu ‘alaikum“. Demikian pula dengan model penyingkatan salam semisal itu.
Sahabatku, jika kita tanya kepada diri kita sendiri, maka pastinya tak mungkin ada perintah yang lebih mulia untuk segera dikerjakan selain perintah dari Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتاً غَيْرَ بُيُوتِكُمْ حَتَّى تَسْتَأْنِسُوا وَتُسَلِّمُوا عَلَى أَهْلِهَا
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya ….” (QS. An-Nur:27)
وَإِذَا حُيِّيْتُم بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّواْ بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيب
Apabila kamu diberi penghormatan dengan sebuah penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik darinya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu.” (QS. An-Nisa`:86)

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash radhiallahu ‘anhuma, bahwasanya seorang lelaki telah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “(Amalan) seperti apakah dalam Islam yang paling baik?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Memberi makan orang lain serta mengucap salam kepada orang yang engkau kenal dan tidak engkau kenal.” (Muttafaq ‘alaih)
Demikian itu adalah keutamaan mengucap salam, lalu bagaimana cara mengucap dan menjawab salam yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Dari Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhuma, dia berkata, “Seorang lelaki telah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu dia berkata, ‘Assalamu ‘alaikum.’ Kemudian, salamnya tersebut dijawab, lalu dia pun duduk. Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam punbersabda, ‘Sepuluh.’ Selanjutnya, seorang lelaki yang lain datang, lalu dia berujar, ‘Assalamu ‘alaikum warahmatullah.’ Kemudian, salamnya tersebut dijawab, lalu dia pun duduk. Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam punbersabda, ‘Dua puluh.’ Selanjutnya, seorang lelaki yang lain pun datang, lalu dia berkata, ‘Assalamu ‘alaikum warahmatullah wabarakatuh.’ Kemudian, salamnya tersebut dijawab, lalu dia pun duduk. Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Tiga puluh.’ (HR. Abu Daud dan At-Tirmidzi; At-Tirmidzi berkata, “Hadits yang berderajat hasan.”) [1]

Jazakillahu khairan [2]

Sebagaimana keutamaan pengucapan salam tanpa disingkat-singkat, maka pengucapan doa “jazakillahu khairan” pun sepatutnya disampaikan secara sempurna, tanpa disingkat-singkat.
Dalam pembahasan tentang perkataan seseorang kepada saudaranya, “Jazakallahu khairan,” pada kitab karya Abdullah bin Muhammad bin Abi Syaibah, yang berjudul Ahaditsul Ahkam, di juz 6, 188:3664, terdapat dua riwayat hadits yang menjadi dalil bagi sunah ini:
عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إذا قال الرجل لأخيه : جزاك الله خيرا ، فقد أبلغ في الثناء .
1. Dari Abu Hurairah, dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Jika seseorang mengatakan kepada saudaranya, ‘Jazakallahu khairan,’ maka sesungguhnya dia telah sempurna dalam mengungkapan rasa terima kasih.’”
عن طلحة بن عبيد الله بن كريز قال : قال عمر : لو يعلم أحدكم ما له في قوله لأخيه : جزاك الله خيرا ، لأكثر منها بعضكم لبعض
2. Dari Thalhah bin Ubaidillah, dia berkata, “Umar telah menuturkan, ‘Seandainya salah seorang di antara kalian mengetahui balasan yang dia peroleh jika dia mengucapkan kepada saudaranya, ‘Jazakallahu khairan,’ tentunya dia benar-benar akan memperbanyak ucapan tersebut di antara mereka satu sama lain.’” [3]
Dalam kitab Faidhul Qadir, 6:172, disebutkan, “Penggalan kalimat ‘maka sesungguhnya dia telah sempurna dalam mengungkapan rasa terima kasih‘ karena dirinya mengakui kekurangannya dan ketidak mampuannya dalam memberikan balasan. Karena itu, dia pasrahkan balasannya kepada Allah, agar Dia yang memberikan balasan yang setimpal.”
Al-’Allamah Al-’Utsaimin rahimahullah menjelaskan dalam Syarah Riyadhush Shalihin, “Hal tersebut terjadi, karena sesungguhnya, jika Allah ta’ala membalasnya dengan kebaikan maka hal itu menjadi kebahagiaan baginya, di dunia dan di akhirat.” [4]

Juga, terdapat satu catatan penting dalam pengucapan doa ini, yaitu penghilangan kata “khairan“. Contoh yang sering kita temui adalah ungkapan “jazakillah“, bukan “jazakillahu khairan” atau “jazakallah khairan“. Hal yang perlu kita perhatikan, jika kita hanya mengucapkan “jazakillah” maka kalimat doa ini masih ambigu: “Semoga Allah membalasmu (dengan) ….” Yang menjadi pertanyaan kita adalah: membalas dengan kebaikan atau keburukan? Tentu saja, yang kita maksudkan adalah “jazakillahu khairan” (semoga Allah membalas Anda dengan kebaikan), bukan “jazakillahu syarran” (semoga Allah membalas Anda dengan keburukan). Oleh karena itu, ucapkanlah “jazakillahu khairan“, agar tersampaikan maksud dari doa tersebut secara sempurna. [5]

Mari mengamalkannya
Hingga di sinilah pemaparan sederhana ini, yang kami hadiahkan untuk Anda, sahabat kami. Memiliki ilmu yang berbuah amal dalam kehidupan nyata merupakan tanda keberkahan pada ilmu tersebut.
Semoga, setelah membaca tulisan ini, kita akan senantiasa mengucap dan menjawab salam, serta mengucap “jazakillahu khairan” dengan lafal yang sempurna, tanpa disingkat-singkat; tak ada lagi: Ass, Ass. Wr. Wb., Aslm, Askm, Askum, Jzk, dan bentuk penyingkatan lainnya. Sebarkanlah sunah ini, maka pahala pun akan Anda tuai dengan sempurna, insya Allah.
***
Artikel muslimah.or.id
Penyusun: Ummu Asiyah (Athirah)
Murajaah: Ust. Ammi Nur Baits
Catatan kaki:
[1] Dalil-dalil tersebut disadur dari kitab Riyadhush Shalihin (diunduh melalui tautan http://ia600204.us.archive.org/20/items/waq107340/107340.pdf)
Riyadhush Shalihin
[2] Atas banyak faidah dari tulisan di http://ummushofi.wordpress.com/2010/06/19/ucapan-ini-merupakan-amal-sholeh-dan-amal-sholeh-pun-akan-mengucapkannya/, Penulis tuturkan, “Fa jazahallahu khairan.”
[3] Dikutip dari http://www.islamweb.net/newlibrary/display_book.php?idfrom=3664&idto=3664&bk_no=10&ID=3464, dengan redaksi naskah:
في قول الرجل لأخيه : جزاك الله خيرا 3664 ( 188 )
( 1 ) حدثنا أبو بكر قال حدثنا وكيع عن موسى بن عبيدة عن محمد بن ثابت عن أبي هريرة قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إذا قال الرجل لأخيه : جزاك الله خيرا ، فقد أبلغ في الثناء .
( 2 ) حدثنا وكيع عن عن طلحة بن عبيد الله بن كريز قال : قال عمر : لو يعلم أحدكم ما له في قوله لأخيه : جزاك الله خيرا ، لأكثر منها بعضكم لبعض
[4] Dikutip dari blog salah seorang putri Syekh Nashiruddin Al-Albani, yaitu Sukainah binti Muhammad Nashiruddin Al-Albaniyyah, http://tamammennah.blogspot.com/2010/04/blog-post_25.html
جاء في “فيض القدير” (6 / 172): “(فقد أبلغ في الثناء) لاعترافه بالتقصير، ولعجزه عن جزائه؛ فوّض جزاءه إلى الله ليجزيه الجزاء الأوفى” ا.هـ
وقال العلامة العثيمين رحمه الله في “شرح رياض الصالحين”: “وذلك لأن الله تعالى إذا جزاه خيرًا؛ كان ذلك سعادة له في الدنيا والآخرة” ا.هـ
[5] Artikel lain yang mengupas masalah ini bisa disimak di http://badaronline.com/artikel/penulisan-lafazh-jazakallah-khairan.html
Read more ...

_Hidayah itu menyapa Diriku, Dirimu dan Dirinya_

0 komentar
Bismillah...

Assalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh...

Dulu aku tak memahami seperti apa itu ukhuwah. Hanya sering mendengar dari akhwat-akhwat yang telah lebih dulu mendapat hidayah dari pada aku bahwa ukhuwah yang kita bangun karena Allah sangatlah nikmat dan begitu indah. Ketika berpisah walau hanya sedetik, sudah mulai merasakan rindu untuk ingin segera bertemu. Ketik ketika bertemu, ingin sekali berlama-lama dan menghabiskan waktu untuk bercerita, berbagi ilmu syar’i.. ya seperti itulah ukhuwah yang selalu ku dengar dari mereka. Ketika berpapasan di jalan, maka kita memberikan salam, berjabat tangan atau bahkan saling berpelukan. Dan itu semua dapat menumbuhkan rasa cinta dalam dada kepada saudari kita. Ya, seperti itu pula ukhuwah yang selalu ku dengar dari mereka. Tetapi saat itu aku belum merasakan nikmatnya dan indahnya berukhuwah. Aku belum memahami bagaimana kita mencintai seseorang karena Allah, seperti yang selalu ku dengar dari murabbiyahku, dari akhwat-akhwat dan terkadang dari ustad ketika ada ta’lim gabungan.

Enam bulan pertama saat aku mengenal tarbiyah, belum ku temukan bagaimana berukhuwah. Bagaimana mencinta dan membenci karena ALLAH. tetapi, ada satu hari yang aku selalu senang di buatnya, hari sabtu. Hari dimana aku berkumpul dengan teman-teman liqo ku, hari dimana aku kembali bertemu dengan murabbiyaku dan hari dimana aku bertemu pula dengan akhwat-akhwat yang selalu bersilaturahmi dengan murabbiyaku. Selalu aku merasakan sesuatu yang sangat ku sukai ketika bertemu dengan mereka. Entah apa itu. Ketika berbicara dengan mereka seolah memberikanku sebuah nasehat tetapi hal itu lebih dari sekedar nasehat, ketika berbicara dengan mereka seolah mereka mengingatkan ku arti akan hidup ini. ketika berbicara dengan mereka, seolah mengingatkan ku akan eksistensi ku sebagai hamba. Ketika berbicara dengan mereka, seolah memberikan ku satu kekuatan ntah kekuatan apa itu dan dari mana asalnya aku pun pada saat itu tak tahu... begitulah pada saat itu. Aku bagaikan bayi yang baru lahir dan tak mengerti apa-apa mengenai hidup ini.

Barulah setahun mengenal tarbiyah, aku mengerti namanya ukhuwah. Ukhuwah melebihi ikatan seorang saudara kandung sendiri. Masya Allah...  mereka membantu ku ketika aku sedang di uji oleh Allah, mereka membantu ku ketika aku kesulitan dalam hal ini dan itu. Meraka selalu membuatku mengingat akan dunia akhirat ku. Dan mereka pula yang selalu memotivasi ku untuk ber-Fastabiqul khairat.
4 tahun sudah aku mengenal tarbiyah. Ibarat seorang anak kecil, maka sekarang saatnya ia berkenalan dengan lingkungan luarnya. Akan banyak yang di temukan oleh anak kecil itu ketika ia tekah berkenalan dengan dunia luar. Ia akan mulai berkenalan dengan lingkungan yang ramai, ia akan mengenal satu per satu watak setiap orang yang ia temui, kadang ia terjatuh saat bermain dengan teman sebayanya, kadang ia berkelahi dengan teman sebayanya, kadang ia menangis karena kalah dalam sebuah permainan dengan temannya. Dan masih banyak lagi. Bagitu pun dengan kita sekarang. Akan ada suatu kondisi dimana kita banar-benar akan di uji oleh Allah. dan hal itu adalah kepastian. Tidak akan dikatakan beriman seseorang sebekum ujian datang kepadanya.

Saudariku, masa-masa seperti inilah kita sangat membutuhkan bantuan dari akhwat-akhwat untuk selalu mengingatkan kita ketika kita khilaf, ketika kita lupa. Maka ku ingatkan pada diriku sendiri dan insya Allah kepada mu untuk tidak berpaling dari mereka. Siapa lagi yang akan menginagtkan kita ketika kita khilaf? Berdoa pun adalah senjata paling ampuh yang Insya allah dapat membantu kita. Pada diri yang lemah ini, siapa yang menjamin bahwa kita akan tetap berada di jalan ini sampai enganazal menjemput?. Wallahi, tidak akan ada yang bisa menjamin.

Masih terekam jelas dalam ingatanku sewaktu hidayah itu menyapa ku. Hari itu adalah hari jumat, hari pertama kalinya aku duduk di suatu majelis yang terasa asing bagi ku. Hari pertama aku melihat sesosok wanita yang semua tubuhnya tertutupi kecuali matanya, hari di mana aku bertemu dengan teman-teman yang juga mengikuti kegiatan yang di namakan TARBIYAH. Hari dimana aku menerima materi tentang HIJAB dan JILBAB, hari dimana aku baru mengetahui apa itu hijab, hari dimana aku baru mengetahui penting tidaknya berhijab dan berjilbab, hari pertama aku melihat betapa banyak anak-anak seangkatan ku yang mengikuti TARBIYAH itu. Sekitar 100 siswa yang mengikuti dan hari dimana dibukakan pintu hidayah itu oleh Allah. aku, diriku yang sifat dasarnya ingin sekali mencari tahu ternyata menjadi jalan hidayah Allah untukku. Pada hari itu, entah ada berpuluh-puluh pertanyaan yang ku ajukan pada seorang wanita yang sering di panggil “MURABBI”. Saat itu aku tak peduli, mau murabbinya capek, kewalahan dengan pertanyaan ku, haus karena selalu bebicara menjawab pertanyaan ku, aku tak peduli. Peduli ku pada saat itu adalah aku ingin mencari tahu. Ya, aku ingin tahu. Saat itulah hidayah Allah itu datang. Aku mulai berfikir tentang diriku yang belum berjilbab. Aku mulai berfikir tentang diriku yang ternyata sangat jahiliyah. Aku mulai berfikir ternyata aku sangatlah bodoh akan ilmu agama. Dan, mulaihlah timbul rasa suka ku pada nama TARBIYAH. Setiap pekan pada hari jumat Alhamdulillah aku tak pernah bolong untuk duduk dalam majelis itu. Hanya berangsung selama satu bulan, teman-teman yang dulunya ada 100 orang yang mengikuti kini tinggal 7 orang yang masih aktif. Ya, 97 gugur. Entah kemana. Aku un tak tahu. Tidak hanya sampai disitu, enam bulan telah berjalan kini tanpa sadar kami tinggal ber-empat. Yang duanya kemana?? Aku pun tak tahu. Semuanya hilang. Dan kembali aku berfikir, tentang perkataan murabbi ku bahwa hanya orangorang yang terpilihlah yang akan tetap duduk di majelis ini. ketika mengingat perkataan itu, aku selalu mengaminkannya dalam hati. Dam terus berharap kepada Allah, bahwa sampai dengan azal menjemput hidayah Allah masih bersama ku.
3 tahun aku bersama dengan 3 teman liqo ku. Dia, ya, dia adalah naqibah ku. Dia yang setiap pekan mengingatkan ku dan teman-teman yang lain untuk tarbiyah. Dia, dia yang pada saat itu adalah ketua KKI di bagian Akhwat. Walaupun akhwat di sekolah ku pada saat itu hanya empat orang.

Kini aku rindu kepada naqibah ku. Aku sangat merinduinya. Aku sangat ingin bertemu dengannya. Aku begitu mencintainya karena Allah. kami berempat terpisah. Ada yang melanjutkan studi ke Malang, Jakarta, Makassar dan ada yang tetap tinggal di kota ku. Sekarang aku tak lagi mendengar kabar naqibah ku yang dulu. Aku tak pernah tahu bagaimana dia sekarang. Aku tak pernah tahu apakah sekarang keimanannya kepada Allah semakin bertambah ataukah mengalami kemerosotan. Aku tak pernah tahu. Ya Allah, aku begitu merindukannya. Aku begitu merindukan saat-saat kita duduk berhalaqah dalam satu majelis. Aku begitu merindukan canda kita di masjid sekolah kit.  Aku begitu merindukan semangat-semangat kita untuk pergi tarbiyah bersama. Aku merindukan ketika kita naik bentor bersama untuk pergi tarbiyah. Aku merindukan ketika kita menyetor hafalan kita kepada murabbi. Aku merindukan ketika kita sholat berjamaah di masjid kecil itu. Aku rindu, aku rindu, dan aku merindukan semua itu. Ingin rasanya aku menangis ketika mengingat masa-masa yang indah saat hidayah itu menyapa.
Untuk dirimu ukhti, walau sekarang kita tak bertemu lagi dan aku tak tahu bagaimana kabar dirimu, engkau masih lah tetap menjadi saudariku. Engaku masihlah tetap menjadi seorang akhwat dimata ku yang selalu mengingatkan dikala kita khilaf dan lupa. Ukhti ku sayang, aku selalu berdoa kepada Allah agar kau selalu di lindungi Allah. aku selalu berdoa kepada Allah, agar Allah selalu melangkahkan kakimu dan kaki kita ke tempat-tempat majelis ilmu syar’i. Aku selalu berdoa kepada Allah, agar hati kita tetap bersatu dalam keimanan kepada Allah ‘azza wa jalla.

Ukhti, semoga dirimu dan kita semua selalu dalam naungan Allah...

Aku merindukan mu ukhti fillah...


Makassar, 26 Mey 2011
00.07 Wita
FMUBS
Read more ...

Rabu, 25 Mei 2011

hadits shahih rasul: SIAPA YANG MENYURUHMU MEMAKAI JILBAB

0 komentar
hadits shahih rasul: SIAPA YANG MENYURUHMU MEMAKAI JILBAB: "Ukhti ! pernahkah kamu menduga, bahwa mereka wanita muslimah sadar, mengapa mereka berjilbab? Sesungguhnya realita menunjukkan bahwa mereka ..."
Read more ...

_Cinta dan Benci_

0 komentar

Bismillah...

Assalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh...


Aku mencintai rembulan dengan pendar putihnya, tapi ia tetaplah bulan yang punya sisi gelap, hingga aku membencinya, ah bukan, pada kelam hitamnya.

Dalam penghambaan hanya kepada Allah, selayaknya setiap jenak kehidupan selalu tersandarkan hanya karena-Nya. Pun dalam persoalan hati, lebih spesifik cinta dan benci; semua akan bernilai dan mulia jika ia hadir bersama ketulusan sebab, untuk, dan hanya karena-Nya.
Dengan keilmuan kita akan hak dan batil, salah dan benar –insya Allah- kebencian akan kesalahan dan kecintaan akan kebenaran dengan mudah kita hadirkan hanya karena Rabbul Izzati. Tapi kadang ada penzhaliman ketika kita menerapkannya pada satu sisi saja, ia tidak lagi menempati tempat yang semestinya, ia labil dalam kebingungan, posisinya absurd -tidak jelas-. Ibarat melihat bulan sabit kita kadang terpesona pada cahayanya saja dan mengabaikan sisi hitam yang menutupi purnamanya atau sebaliknya kita hanya sibuk menggerutui noda hitamnya dan lupa bahwa bahwa masih ada sisi putih yang lebih cantik untuk dipandang.
Tak jarang cinta dan benci menjadi buta, ketika ia datang dengan sebab yang tak terduga disertai alasan yang dipaksakan atau kalau perlu dibuat-buat, hingga pertanyaan yang mengikutinya bukan lagi APA tapi SIAPA. Padahal noda hitam pasti tetap ada meski pada purnama yang justru memastikan bahwa ia adalah bulan bukan khayalan.
Proporsional dan objektif; adalah kata kunci sekaligus jawaban untuk masalah di atas.
Proporsional, kata lain dari adil. Dengan Kalam-Nya Allah Subahnahu wa Ta’ala mewanti-wanti kita untuk bersikap adil kepada siapapun hatta itu adalah musuh kita. Dalam soal dua rasa (cinta dan benci) keadilan mesti tetap dikedepankan pada siapapun. Ketika kita mencintai seseorang maka ingatlah pada saat yang sama ada sesuatu yang mungkin kita bisa benci darinya, sebaliknya ketika ada yang mengharuskan kita untuk membencinya maka jangan lupa bahwa alasan kita untuk mencintainya pun juga mungkin lebih banyak.
Begitu juga dengan kadarnya, ketika kesalahannya adalah sebiji maka bencilah ia sekadar sebiji itu jangan kurang apalagi lebih begitupun sebaliknya.
Objektif, sebagaimana adil ia juga berlaku untuk semua dan siapa saja. Saat cinta atau benci, maka seharusnya ia bukan ditujukan pada pelaku tapi pada laku-lakunya, pada sebab kenapa kita harus mencintai atau membencinya. Ketika ada kata “Aku mencintai/membenci fulan” maka hakikat seharusnya adalah “Aku mencintai/membenci perlilaku fulan”.
Tak ada kecintaan mutlak kecuali kepada Allah dan kebaikan yang Dia telah tetapkan dan tak ada kebencian mutlak kecuali kepada setan juga kepada keburukan yang ia tebarkan.
Yah, kita memang harus menjadi raja atas cinta dan benci itu, jangan sampai mereka menguasai diri kita atas dasar nafsu belaka yang akhirnya hanya akan membuat kita buta meski lidah melisankan hanya karena-Nya, sebab setan penuh tipu daya.
Jadi, saat cinta dan benci mesti ada, dan ketika wala’ dan bara’ harus berwajah seharusnya kita tahu hati kita seperti apa… (AF)

Makassar, 28 Jumadil Ula 1430 H

sumber : http://wimakassar.org/wp/cinta-dan-benci/
Read more ...

_Untuk Para Istri Sholehah_

0 komentar
Bismillah...

Assalamu alaikum Warahmatullah Wabarakatuh...



Syaikhul Islam berkata,

وليس على المرأة بعد حق الله ورسوله أوجب من حق الزوج

"Tidak ada hak yang lebih wajib untuk ditunaikan seorang wanita –setelah hak Allah- dari pada hak suami" (Majmuu' Al-Fataawaa 32/260)

Ibnul Jauzi berkata,

«وينبغي للمرأة العاقلة إذا وجدت زوجًا صالحًا يلائمها أن تجتهد في مرضاته، وتجتنب كل ما يؤذيه، فإنها متى آذته أو تعرضت لما يكرهه أوجب ذلك ملالته، وبقي ذلك في نفسه، فربما وجد فرصته فتركها، أو آثر غيرها، فإنه قد يجد، وقد لا تجد هي، ومعلوم أن الملل للمستحسن قد يقع، فكيف للمكروه»

Seyogyanya seorang wanita yang berakal jika ia mendapatkan seorang suami yang sholeh yang cocok dengannya untuk bersungguh-sungguh berusaha untuk mencari keridoan suaminya dan menjauhi seluruh perkara yang menyakiti suaminya. Karena kapan saja ia menyakiti suaminya atau melakukan sesuatu yang dibenci suaminya maka akan membuat suaminya bosan dengannya, dan kebencian tersebut akan tersimpan di hati suaminya. Bisa jadi sang suami mendapatkan kesempatan maka sang suami akan meninggalkannya atau mengutamakan istrinya yang lain. Karena sang suami bisa jadi mendapatkan (istri yang baru) sedangkan ia belum tentu mendapatkan (suami yang baru). Padahal diketahui bersama bahwasanya rasa bosan itu bisa menimpa pada perkara yang baik, bagiamana lagi terhadap perkara yang dibenci" (Ahkaamun Nisaa' li Ibnil Jauzi)

Imam Ahmad pernah berkata tentang istrinya Ummu Sholeh 'Abbasah binti Al-Fadhl,

أقامت أم صالح معي ثلاثين سنة، فما اختلفت أنا وهي في كلمة.

"Ummu Sholeh tinggal bersamaku selama tiga puluh tahun, tidak pernah kami berselisih dalam satu permasalahanpun" (Taarikh Bagdaad 14/438)

http://firanda.com/index.php/kajian/manhaj
Read more ...

Selasa, 24 Mei 2011

_Seruan kami, Para wanita_

0 komentar
Bismillah...

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh...


Ku goreskan pena  pada selembar kertas
 tuk menguraikan isi hati para wanita..

Kami  adalah fitnah terbesar yang di tinggalkan Rasulullah
setelah Beliau meninggal dunia.
Kami tahu, bahwa sangat sulit rasanya ketika kami berusaha
 agar tiada seorang pun yang akan terkena fitnah kami.
Sekalipun kami di tutupi oleh balutan busana yang besar,
namun itu tidak lah cukup untuk menghindarkan kaum pria dari fitnah kami.

Ketika kalian mulai terkena fitnah kami,
 maka kesalahan sepenuhnya tidak terletak pada kami.
 Kami telah berusaha untuk menutup bagian yang indah untuk kalian pandangi.
 Balutan busana besar itu lah yang kami gunakan.
 Demi kalian, demi kemaslahatan bersama
kami rela terbungkus dalam balutan busana besar itu
 walau kadang rasa gerah dan panas yang harus kami lawan.
 Cercaan, hinaan yang datang pada kami pun tak kami hiraukan,
walau sebagian wanita menganggap kami adalah wanita yang kolot, kaku,
 tidak trendy dan sangat kampungan.

 Dari semua itu, harus lah kalian sadari wahai para pria,
 kami telah melaksanakan syariat islam,
menutup aurat dan menundukan pandangan kami.
 Maka tundukanlah pula pandangan kalian wahai para pria.
 Apakah kalian tahu, bahwa tatapan mata kalian itu akan membekas di hati kami..?
 dan bukanlah tidak mungkin bahwa kami akan salah mengartikan dari tatapan kalian pada kami.
 Maka jagalah hati kami...
 dan jangan lah sekali-kali kalian memberikan senyum pada kami.
 Berilah senyum pada  jenis kalian sendiri, maka itu lebih baik bagi hati kita semua.
Jangan pula kalian memberikan perhatian lebih pada kami.
Memberikan peringatan kepada kami ketika kami lalai.
Kami tahu, bahwa tujuan kalian adalah baik.
Tapi bukankah sesuatu yang kalian anggap baik adalah baik untuk orang lain ?
Maka,biarlah sang Murobbi yang memperingatkan kami.
Cukuplah kalian katakan pada murabbi tentang kelalaian yang kami perbuat.
Dengan cara yang ahsan sepeti ini, tentunya akan aman pula hati kita.

Gorontalo, 12 Sept 2010/ 3 syawal 1431 H
23.55 Wita
FMUBS
Read more ...

Minggu, 22 Mei 2011

Hukum Memakai Cadar dalam Pandangan 4 Madzhab

0 komentar
Bismillah...

Assalamu alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh...

Wanita bercadar seringkali diidentikkan dengan orang arab atau timur-tengah. Padahal memakai cadar atau menutup wajah bagi wanita adalah ajaran Islam yang didasari dalil-dalil Al Qur’an, hadits-hadits shahih serta penerapan para sahabat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam serta para ulama yang mengikuti mereka. Sehingga tidak benar anggapan bahwa hal tersebut merupakan sekedar budaya timur-tengah.

Berikut ini sengaja kami bawakan pendapat-pendapat para ulama madzhab, tanpa menyebutkan pendalilan mereka, untuk membuktikan bahwa pembahasan ini tertera dan dibahas secara gamblang dalam kitab-kitab fiqih 4 madzhab. Lebih lagi, ulama 4 madzhab semuanya menganjurkan wanita muslimah untuk memakai cadar, bahkan sebagiannya sampai kepada anjuran wajib. Beberapa penukilan yang disebutkan di sini hanya secuil saja, karena masih banyak lagi penjelasan-penjelasan serupa dari para ulama madzhab.

Madzhab Hanafi
Pendapat madzhab Hanafi, wajah wanita bukanlah aurat, namun memakai cadar hukumnya sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah.
* Asy Syaranbalali berkata:
وجميع بدن الحرة عورة إلا وجهها وكفيها باطنهما وظاهرهما في الأصح ، وهو المختار
“Seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan dalam serta telapak tangan luar, ini pendapat yang lebih shahih dan merupakan pilihan madzhab kami“ (Matan Nuurul Iidhah)
* Al Imam Muhammad ‘Alaa-uddin berkata:
وجميع بدن الحرة عورة إلا وجهها وكفيها ، وقدميها في رواية ، وكذا صوتها، وليس بعورة على الأشبه ، وإنما يؤدي إلى الفتنة ، ولذا تمنع من كشف وجهها بين الرجال للفتنة
“Seluruh badan wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan dalam. Dalam suatu riwayat, juga telapak tangan luar. Demikian juga suaranya. Namun bukan aurat jika dihadapan sesama wanita. Jika cenderung menimbulkan fitnah, dilarang menampakkan wajahnya di hadapan para lelaki” (Ad Durr Al Muntaqa, 81)
* Al Allamah Al Hashkafi berkata:
والمرأة كالرجل ، لكنها تكشف وجهها لا رأسها ، ولو سَدَلَت شيئًا عليه وَجَافَتهُ جاز ، بل يندب
“Aurat wanita dalam shalat itu seperti aurat lelaki. Namun wajah wanita itu dibuka sedangkan kepalanya tidak. Andai seorang wanita memakai sesuatu di wajahnya atau menutupnya, boleh, bahkan dianjurkan” (Ad Durr Al Mukhtar, 2/189)
* Al Allamah Ibnu Abidin berkata:
تُمنَعُ من الكشف لخوف أن يرى الرجال وجهها فتقع الفتنة ، لأنه مع الكشف قد يقع النظر إليها بشهوة
“Terlarang bagi wanita menampakan wajahnya karena khawatir akan dilihat oleh para lelaki, kemudian timbullah fitnah. Karena jika wajah dinampakkan, terkadang lelaki melihatnya dengan syahwat” (Hasyiah ‘Alad Durr Al Mukhtaar, 3/188-189)
* Al Allamah Ibnu Najiim berkata:
قال مشايخنا : تمنع المرأة الشابة من كشف وجهها بين الرجال في زماننا للفتنة
“Para ulama madzhab kami berkata bahwa terlarang bagi wanita muda untuk menampakkan wajahnya di hadapan para lelaki di zaman kita ini, karena dikhawatirkan menimbulkan fitnah” (Al Bahr Ar Raaiq, 284)
Beliau berkata demikian di zaman beliau, yaitu beliau wafat pada tahun 970 H, bagaimana dengan zaman kita sekarang?

Madzhab Maliki
Mazhab Maliki berpendapat bahwa wajah wanita bukanlah aurat, namun memakai cadar hukumnya sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah. Bahkan sebagian ulama Maliki berpendapat seluruh tubuh wanita adalah aurat.
* Az Zarqaani berkata:
وعورة الحرة مع رجل أجنبي مسلم غير الوجه والكفين من جميع جسدها ، حتى دلاليها وقصَّتها . وأما الوجه والكفان ظاهرهما وباطنهما ، فله رؤيتهما مكشوفين ولو شابة بلا عذر من شهادة أو طب ، إلا لخوف فتنة أو قصد لذة فيحرم ، كنظر لأمرد ، كما للفاكهاني والقلشاني
“Aurat wanita di depan lelaki muslim ajnabi adalah seluruh tubuh selain wajah dan telapak tangan. Bahkan suara indahnya juga aurat. Sedangkan wajah, telapak tangan luar dan dalam, boleh dinampakkan dan dilihat oleh laki-laki walaupun wanita tersebut masih muda baik sekedar melihat ataupun untuk tujuan pengobatan. Kecuali jika khawatir timbul fitnah atau lelaki melihat wanita untuk berlezat-lezat, maka hukumnya haram, sebagaimana haramnya melihat amraad. Hal ini juga diungkapkan oleh Al Faakihaani dan Al Qalsyaani” (Syarh Mukhtashar Khalil, 176)
* Ibnul Arabi berkata:
والمرأة كلها عورة ، بدنها ، وصوتها ، فلا يجوز كشف ذلك إلا لضرورة ، أو لحاجة ، كالشهادة عليها ، أو داء يكون ببدنها ، أو سؤالها عما يَعنُّ ويعرض عندها
“Wanita itu seluruhnya adalah aurat. Baik badannya maupun suaranya. Tidak boleh menampakkan wajahnya kecuali darurat atau ada kebutuhan mendesak seperti persaksian atau pengobatan pada badannya, atau kita dipertanyakan apakah ia adalah orang yang dimaksud (dalam sebuah persoalan)” (Ahkaamul Qur’an, 3/1579)
* Al Qurthubi berkata:
قال ابن خُويز منداد ــ وهو من كبار علماء المالكية ـ : إن المرأة اذا كانت جميلة وخيف من وجهها وكفيها الفتنة ، فعليها ستر ذلك ؛ وإن كانت عجوزًا أو مقبحة جاز أن تكشف وجهها وكفيها
“Ibnu Juwaiz Mandad – ia adalah ulama besar Maliki – berkata: Jika seorang wanita itu cantik dan khawatir wajahnya dan telapak tangannya menimbulkan fitnah, hendaknya ia menutup wajahnya. Jika ia wanita tua atau wajahnya jelek, boleh baginya menampakkan wajahnya” (Tafsir Al Qurthubi, 12/229)
* Al Hathab berkata:
واعلم أنه إن خُشي من المرأة الفتنة يجب عليها ستر الوجه والكفين . قاله القاضي عبد الوهاب ، ونقله عنه الشيخ أحمد زرّوق في شرح الرسالة ، وهو ظاهر التوضيح
“Ketahuilah, jika dikhawatirkan terjadi fitnah maka wanita wajib menutup wajah dan telapak tangannya. Ini dikatakan oleh Al Qadhi Abdul Wahhab, juga dinukil oleh Syaikh Ahmad Zarruq dalam Syarhur Risaalah. Dan inilah pendapat yang lebih tepat” (Mawahib Jaliil, 499)
* Al Allamah Al Banaani, menjelaskan pendapat Az Zarqani di atas:
وهو الذي لابن مرزوق في اغتنام الفرصة قائلًا : إنه مشهور المذهب ، ونقل الحطاب أيضًا الوجوب عن القاضي عبد الوهاب ، أو لا يجب عليها ذلك ، وإنما على الرجل غض بصره ، وهو مقتضى نقل مَوَّاق عن عياض . وفصَّل الشيخ زروق في شرح الوغليسية بين الجميلة فيجب عليها ، وغيرها فيُستحب
“Pendapat tersebut juga dikatakan oleh Ibnu Marzuuq dalam kitab Ightimamul Furshah, ia berkata: ‘Inilah pendapat yang masyhur dalam madzhab Maliki’. Al Hathab juga menukil perkataan Al Qadhi Abdul Wahhab bahwa hukumnya wajib. Sebagian ulama Maliki menyebutkan pendapat bahwa hukumnya tidak wajib namun laki-laki wajib menundukkan pandangannya. Pendapat ini dinukil Mawwaq dari Iyadh. Syaikh Zarruq dalam kitab Syarhul Waghlisiyyah merinci, jika cantik maka wajib, jika tidak cantik maka sunnah” (Hasyiyah ‘Ala Syarh Az Zarqaani, 176)

Madzhab Syafi’i
Pendapat madzhab Syafi’i, aurat wanita di depan lelaki ajnabi (bukan mahram) adalah seluruh tubuh. Sehingga mereka mewajibkan wanita memakai cadar di hadapan lelaki ajnabi. Inilah pendapat mu’tamad madzhab Syafi’i.
* Asy Syarwani berkata:
إن لها ثلاث عورات : عورة في الصلاة ، وهو ما تقدم ـ أي كل بدنها ما سوى الوجه والكفين . وعورة بالنسبة لنظر الأجانب إليها : جميع بدنها حتى الوجه والكفين على المعتمد وعورة في الخلوة وعند المحارم : كعورة الرجل »اهـ ـ أي ما بين السرة والركبة ـ
“Wanita memiliki tiga jenis aurat, (1) aurat dalam shalat -sebagaimana telah dijelaskan- yaitu seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan, (2) aurat terhadap pandangan lelaki ajnabi, yaitu seluruh tubuh termasuk wajah dan telapak tangan, menurut pendapat yang mu’tamad, (3) aurat ketika berdua bersama yang mahram, sama seperti laki-laki, yaitu antara pusar dan paha” (Hasyiah Asy Syarwani ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, 2/112)
* Syaikh Sulaiman Al Jamal berkata:
غير وجه وكفين : وهذه عورتها في الصلاة . وأما عورتها عند النساء المسلمات مطلقًا وعند الرجال المحارم ، فما بين السرة والركبة . وأما عند الرجال الأجانب فجميع البدن
“Maksud perkataan An Nawawi ‘aurat wanita adalah selain wajah dan telapak tangan’, ini adalah aurat di dalam shalat. Adapun aurat wanita muslimah secara mutlak di hadapan lelaki yang masih mahram adalah antara pusar hingga paha. Sedangkan di hadapan lelaki yang bukan mahram adalah seluruh badan” (Hasyiatul Jamal Ala’ Syarh Al Minhaj, 411)
* Syaikh Muhammad bin Qaasim Al Ghazzi, penulis Fathul Qaarib, berkata:
وجميع بدن المرأة الحرة عورة إلا وجهها وكفيها ، وهذه عورتها في الصلاة ، أما خارج الصلاة فعورتها جميع بدنها
“Seluruh badan wanita selain wajah dan telapak tangan adalah aurat. Ini aurat di dalam shalat. Adapun di luar shalat, aurat wanita adalah seluruh badan” (Fathul Qaarib, 19)
* Ibnu Qaasim Al Abadi berkata:
فيجب ما ستر من الأنثى ولو رقيقة ما عدا الوجه والكفين . ووجوب سترهما في الحياة ليس لكونهما عورة ، بل لخوف الفتنة غالبًا
“Wajib bagi wanita menutup seluruh tubuh selain wajah telapak tangan, walaupun penutupnya tipis. Dan wajib pula menutup wajah dan telapak tangan, bukan karena keduanya adalah aurat, namun karena secara umum keduanya cenderung menimbulkan fitnah” (Hasyiah Ibnu Qaasim ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, 3/115)
* Taqiyuddin Al Hushni, penulis Kifaayatul Akhyaar, berkata:
ويُكره أن يصلي في ثوب فيه صورة وتمثيل ، والمرأة متنقّبة إلا أن تكون في مسجد وهناك أجانب لا يحترزون عن النظر ، فإن خيف من النظر إليها ما يجر إلى الفساد حرم عليها رفع النقاب
“Makruh hukumnya shalat dengan memakai pakaian yang bergambar atau lukisan. Makruh pula wanita memakai niqab (cadar) ketika shalat. Kecuali jika di masjid kondisinya sulit terjaga dari pandnagan lelaki ajnabi. Jika wanita khawatir dipandang oleh lelaki ajnabi sehingga menimbulkan kerusakan, haram hukumnya melepaskan niqab (cadar)” (Kifaayatul Akhyaar, 181)

Madzhab Hambali
* Imam Ahmad bin Hambal berkata:
كل شيء منها ــ أي من المرأة الحرة ــ عورة حتى الظفر
“Setiap bagian tubuh wanita adalah aurat, termasuk pula kukunya” (Dinukil dalam Zaadul Masiir, 6/31)
* Syaikh Abdullah bin Abdil Aziz Al ‘Anqaari, penulis Raudhul Murbi’, berkata:
« وكل الحرة البالغة عورة حتى ذوائبها ، صرح به في الرعاية . اهـ إلا وجهها فليس عورة في الصلاة . وأما خارجها فكلها عورة حتى وجهها بالنسبة إلى الرجل والخنثى وبالنسبة إلى مثلها عورتها ما بين السرة إلى الركبة
“Setiap bagian tubuh wanita yang baligh adalah aurat, termasuk pula sudut kepalanya. Pendapat ini telah dijelaskan dalam kitab Ar Ri’ayah… kecuali wajah, karena wajah bukanlah aurat di dalam shalat. Adapun di luar shalat, semua bagian tubuh adalah aurat, termasuk pula wajahnya jika di hadapan lelaki atau di hadapan banci. Jika di hadapan sesama wanita, auratnya antara pusar hingga paha” (Raudhul Murbi’, 140)
* Ibnu Muflih berkata:
« قال أحمد : ولا تبدي زينتها إلا لمن في الآية ونقل أبو طالب :ظفرها عورة ، فإذا خرجت فلا تبين شيئًا ، ولا خُفَّها ، فإنه يصف القدم ، وأحبُّ إليَّ أن تجعل لكـمّها زرًا عند يدها
“Imam Ahmad berkata: ‘Maksud ayat tersebut adalah, janganlah mereka (wanita) menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada orang yang disebutkan di dalam ayat‘. Abu Thalib menukil penjelasan dari beliau (Imam Ahmad): ‘Kuku wanita termasuk aurat. Jika mereka keluar, tidak boleh menampakkan apapun bahkan khuf (semacam kaus kaki), karena khuf itu masih menampakkan lekuk kaki. Dan aku lebih suka jika mereka membuat semacam kancing tekan di bagian tangan’” (Al Furu’, 601-602)
* Syaikh Manshur bin Yunus bin Idris Al Bahuti, ketika menjelaskan matan Al Iqna’ , ia berkata:
« وهما » أي : الكفان . « والوجه » من الحرة البالغة « عورة خارجها » أي الصلاة « باعتبار النظر كبقية بدنها »
“’Keduanya, yaitu dua telapak tangan dan wajah adalah aurat di luar shalat karena adanya pandangan, sama seperti anggota badan lainnya” (Kasyful Qanaa’, 309)
* Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata:
القول الراجح في هذه المسألة وجوب ستر الوجه عن الرجال الأجانب
“Pendapat yang kuat dalam masalah ini adalah wajib hukumnya bagi wanita untuk menutup wajah dari pada lelaki ajnabi” (Fatawa Nurun ‘Alad Darb, http://www.ibnothaimeen.com/all/noor/article_4913.shtml)

Cadar Adalah Budaya Islam
Dari pemaparan di atas, jelaslah bahwa memakai cadar (dan juga jilbab) bukanlah sekedar budaya timur-tengah, namun budaya Islam dan ajaran Islam yang sudah diajarkan oleh para ulama Islam sebagai pewaris para Nabi yang memberikan pengajaran kepada seluruh umat Islam, bukan kepada masyarakat timur-tengah saja. Jika memang budaya Islam ini sudah dianggap sebagai budaya lokal oleh masyarakat timur-tengah, maka tentu ini adalah perkara yang baik. Karena memang demikian sepatutnya, seorang muslim berbudaya Islam.
Diantara bukti lain bahwa cadar (dan juga jilbab) adalah budaya Islam :
1.     Sebelum turun ayat yang memerintahkan berhijab atau berjilbab, budaya masyarakat arab Jahiliyah adalah menampakkan aurat, bersolek jika keluar rumah, berpakaian seronok atau disebut dengan tabarruj. Oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ
Hendaknya kalian (wanita muslimah), berada di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian ber-tabarruj sebagaimana yang dilakukan wanita jahiliyah terdahulu” (QS. Al Ahzab: 33)
Sedangkan, yang disebut dengan jahiliyah adalah masa ketika Rasulullah Shallalahu’alihi Wasallam belum di utus. Ketika Islam datang, Islam mengubah budaya buruk ini dengan memerintahkan para wanita untuk berhijab. Ini membuktikan bahwa hijab atau jilbab adalah budaya yang berasal dari Islam.
2.     Ketika turun ayat hijab, para wanita muslimah yang beriman kepada Rasulullah Shallalahu’alaihi Wasallam seketika itu mereka mencari kain apa saja yang bisa menutupi aurat mereka.  ‘Aisyah Radhiallahu’anha berkata:
مَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ ( وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ ) أَخَذْنَ أُزْرَهُنَّ فَشَقَّقْنَهَا مِنْ قِبَلِ الْحَوَاشِي فَاخْتَمَرْنَ بِهَا
“(Wanita-wanita Muhajirin), ketika turun ayat ini: “Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka.” (QS. Al Ahzab: 31), mereka merobek selimut mereka lalu mereka berkerudung dengannya.” (HR. Bukhari 4759)
Menunjukkan bahwa sebelumnya mereka tidak berpakaian yang menutupi aurat-aurat mereka sehingga mereka menggunakan kain yang ada dalam rangka untuk mentaati ayat tersebut.
Singkat kata, para ulama sejak dahulu telah membahas hukum memakai cadar bagi wanita. Sebagian mewajibkan, dan sebagian lagi berpendapat hukumnya sunnah. Tidak ada diantara mereka yang mengatakan bahwa pembahasan ini hanya berlaku bagi wanita muslimah arab atau timur-tengah saja. Sehingga tidak benar bahwa memakai cadar itu aneh, ekstrim, berlebihan dalam beragama, atau ikut-ikutan budaya negeri arab.
Penukilan pendapat-pendapat para ulama di atas merupakan kesungguhan dari akhi Ahmad Syabib dalam forum Fursanul Haq (http://www.forsanelhaq.com/showthread.php?t=83503)
Penerjemah: Yulian Purnama
Read more ...

_Wahai Anakku, Kami Menginginkan Pahala Itu_

0 komentar
Bismillah...

Assalamu'alaikum Warahmatullah Wabarakatuh...

ya Bunayya,..engkau buah hati kami. Padamu tergantung masa depan kami. Dunia kami dan akhirat kami. Hilang letih dan lelah kami ketika melihat engkau beranjak dewasa tumbuh dengan akhlak mulia.

Wahai anakku,… engkau hidup di penghujung zaman yang semakin banyak kerusakan dan fitnah yang menyambar setiap detik nafasmu. Jikalau tidak engkau bergantung pada Zat Yang Maha Kuat dan Kuasa pada siapa lagi engkau kan berlari.

Kami tidak perduli melihat para orang tua yang sibuk memilih dunia untuk belahan jiwa mereka. Yang berkorban dengan apa saja agar anak-anaknya berhasil meraih pangkat dan kedudukan di hati manusia. Yang bila mana kami lupa memanggil anaknya dengan nama biasa, maka mereka akan segera tergesa-gesa meralat,.. maaf anak kami adalah seorang dokter panggillah nama depannya dengan jabatannya.

Duhai penyejuk hati yang gundah,… kami menginginkan dunia hanya sebagai bekal untukmu menuju akhirat yang abadi. Karena itu kami tidak kecewa bila mendapati nilai C pada matematikamu atau fisikamu. Tetapi sungguh kami akan menangis dan berduka bila engkau lalai pada perintah Rabbmu.

Duhai penyejuk mata,…. di hari yang semakin mendekati kepunahan. Tak lelah kami mendidikmu dengan Al-Qur’an. Betapa engkau sangat kami inginkan menjadi penghafal dan pengamal Al Qur’an. Siang malam kami bersabar dan tak kecewa membetulkan bacaanmu yang yang tertatih-tatih dan terlupa dari satu ayat Al-Qur’an.Demikian pula doa senantiasa kami panjatkan untuk kalian agar Allah memberi kemudahan.

Untukmu bunayya,… bersabarlah di hari yang sulit ini. Sungguh engkau akan menikmati jerih payahmuketika dewasa nanti.Janganlah engkau lupakan kami dalam doamu .Semoga Allah di kemudian hari, memberi kelapangan pada kubur kami yang sempit nanti.

Ya bunayya,…. engkau pasti kan bertanya, mengapa orang tua kami melakukan hal ini untuk kami? Jawabnya,… karena ia adalah suatu kebiasaan yang telah di wariskan oleh para pendahulu kita(salafus shalih).Begitu pula telah kami dapati dalam ucapan Nabimu yang mulia shalallahu alaihi wassalam diriwayatkan dari Buraidah bin Hushaib radhiyallahu anhu ia berkata: “Pernah ketika aku sedang berada di sisi Rasulullahshalallahu alaihi wassalam maka aku pernah mendengar beliau bersabda,

“Al-Qur’an itu akan menemui ahlinya pada hari kiamat ketika kubur telah terbelah seperti seorang laki-laki yang berwajah putih berseri. Ia berkata pada laki-laki tadi,”Apakah kamu mengenaliku?” dia menjawab,”Aku tidak mengenalimu” Ia berkata,”Aku adalah temanmu, Al-Qur’an yang dulu selalu membuat kering tenggorokanmu di siang hari dan begadang di malam hari. Dan setiap pedagang tentulah mengharapkan keuntungan dari barang dagangannya, dan kamu pada hari ini mendapatkan keuntungan dari usahamu.”Kemudian di berikan untuknya kerajaan di tangan kanannya dan keabadian (surga) ditangan kirinya, di letakkan mahkota kebesaran di kepalanya, dan dikenakan bagi kedua orangtuanya dua pakaian (teramat indah) yang belum pernah dikenakan oleh penduduk bumi. Keduanya berkata: ”Dengan amalan apa kami bisa memperoleh pakaian seperti ini?” Dikatakan: “Dengan (kesabaran)mu dalam mengajarkan Al-Qur’an kepada anak-anakmu” Kemudian diperintahkan kepadanya, Bacalah (Al-Qur’an) dan naikilah tangga-tangga surga dan masuklah ke kamar-kamarnya” Maka dia terus naik (derajatnya) selama dia membacanya dengan cepat atau dengan cara tartil (perlahan-lahan)” (HR. Ahmad)1

Dan juga dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu yang marfu’ (sampai) kepada Nabi shalallahu alaihi wassalam beliau bersabda,

“…. dan dikenakan kepada kedua orangtuanya dua pakaian indah yang tidak bisa dinilai dengan dunia dan seisinya. Keduanya berkata, “Ya Rabb, Bagaimana kami bisa mendapatkan balasan seperti ini !! dikatakan :”Dengan mendidik Al-Qur’an kepada anak-anakmu” (HR. Ath-Thabrani).2

Wahai bunayya,.. betapa kami menginginkan pahala itu. Kami-pun menyadari tidaklah mudah untuk mendapatkannya. Karena memang segala sesuatu harus diraih dengan kerja keras yang gigih dan kesabaran yang tak bertepi. Lelah dan letih kami akan di hargai-Nya karena Allah Yang Maha Mulia telah berfirman:

“Dan bahwasanya seorang manusia tidak memperoleh selain apa yang telah diusahakannya (39) dan bahwasanya usahanya itu kelak akan di perlihatkan kepadanya (40) Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna” (41). (An-Najm :39-41).

Sungguh kami yakin wahai bunayya,… jika sekiranya para orangtua mengetahui keutamaan dan kedudukan yang tinggi di sisi-Nya karena mengajarkan Al-Qur’an pada buah hati mereka, niscaya mereka akan berlomba-lomba untuk mengajarkan anak-anaknya Al-Qur’an, membimbing mereka untuk selalu membaca, menghayati maknanya dan mengamalkannya dalam kehidupan yang fana ini.

______________________
Sumber bacaan :
  1. Tafsir Ibnu katsir jilid 9 , Pustaka Imam ASy-Syafi’i, Jakarta, 2008.
  2. Keagungan Al-Qur’an Al-karim, Syaikh Mahmud Al Dosari, Maktabah Darus salam, Riyadh, 2006.
Murajaah oleh : Ustadz Eko Hariyanto Lc(Abu Ziyad)
  1. Hadits riwayat Ahmad dalam kitab Al-Musnad,5/238 [↩]
  2. Hadits riwayat Ath-Thabrani dalam kitab Al Ausath, 6/51, hadits no.5764. Syaikh Al-Bani menyebutkan hadits ini dalam kitab Silsilah Hadits Shahih, 6/792, hadits no.2829. [↩]
Sumber : http.jilbab.or.id, Sesuai teks aslinya.
Read more ...

_JILBABI HATI TERLEBIH DAHULU SEBELUM BERJILBAB, BENARKAH ?_

0 komentar
Bismillah...

Assalamu'alaikum warahmatullah Wabarakatuh...

Banyak syubhat (hal yang membuat ragu) yang dilontarkan kepada kaum muslimah yang ingin berjilbab. Syubhat yang ‘ngetrend’ dan biasa kita dengar adalah ” Buat apa berjilbab kalau hati kita belum siap, belum bersih, masih suka ‘ngerumpi’ berbuat maksiat dan dosa-dosa lainnya, percuma dong pake jilbab! Yang penting kan hatinya!” Lalu tercenunglah saudari kita ini membenarkan pendapat kawannya tadi.


Syubhat lainnya lagi adalah ” Lihat tuh kan ada hadits yang berbunyi: Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk (rupa) kalian tapi Allah melihat pada hati kalian..! Jadi yang wajib adalah menghijabi hati, kalau hati kita baik maka baik pula keislaman kita walau kita tidak berjilbab (hijab)!” Benarkah demikian saudariku,, ??


Saudariku.......Inilah Jawaban Kami atas Syubhat-syubhatmu itu…


Saudariku muslimah semoga Allah merahmatimu, siapapun yang berfikiran dan berpendapat demikian maka wajiblah baginya untuk bertaubat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala memohon ampun atas kebodohan atau kejahilannya dalam memahami syariat yang mulia ini. Jika agama hanya berlandaskan pada akal dan perasaan, maka rusaklah agama ini. Bila agama hanya didasarkan kepada orang-orang yang hatinya baik, maka tengoklah disekitar kita, yaitu orang-orang yang beragama selain Islam. Lihatlah dengan seksama, ada diantara mereka yang sangat baik hatinya, lemah lembut perkataannya, dermawan, bijaksana, dan lain sebagainya. Apakah saudari (ukhti) setuju untuk mengatakan bahwa mereka adalah muslim? Tentu akal saudari akan mengatakan “TIDAK!” karena mereka tidak mengucapkan syahadatain, mereka tidak memeluk Islam, perbuatan mereka menunjukkan mereka bukan orang Islam. Tentu saudari muslimah akan sependapat dengan kami bahwa kita menghukumi seseorang berdasarkan perbuatan yang nampak (dzahir) dari orang itu. Artinya, kita bisa mengatakan orang tersebut muslim, jikalau ia melaksanakan shalat, berpuasa di bulan Ramadhan, membayar zakat, serta yang lainnya.


Lalu bagaimana pendapatmu ketika saudari (ukhti) melihat seorang wanita di jalan berjalan tanpa jilbab, apakah ukhti bisa menebak wanita itu muslimah ataukah non-muslimah? Sulit untuk menduga jawabannya karena secara lahir (dzahir) ia sama dengan wanita non-muslimah lainnya. Ada kaidah dasar fiqih yang mengatakan “alhukmu ala dzawahir amma al bawathin fahukmuhu ‘ala llah” artinya, hukum itu dilandaskan atas sesuatu yang nampak adapun yang batin hukumnya adalah terserah kepada Allah.


Rasanya tidak ada yang bisa meragukan kesucian hati istri-istri Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam (ummahatul mukminin), begitupula istri-istri Sahabat nabi yang mulia (shahabiyaat). Mereka adalah wanita yang paling baik hatinya, paling bersih, paling suci dan mulia. Tapi mengapa ketika ayat tentang hijab turun agar mereka berjilbab dengan sempurna[1], tak ada satupun riwayat yang menjelaskan bahwa mereka menolak perintah Allah Ta’ala. Justru yang kita dapati mereka merobek tirai mereka lalu mereka jadikan kerudung sebagai bukti ketaatan mereka.


Apa yang ingin saudari katakan? Sedangkan mengenai hadits di atas, banyak diantara saudara kita yang tidak mengetahui bahwa hadits di atas ada sambungannya. Lengkapnya adalah sebagai berikut:


Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat pada bentuk tubuh-tubuh kalian dan tidak juga kepada bentuk rupa-rupa kalian, tetapi Dia melihat hati-hati kalian “[2]


Hadits di atas ada sambungannya yaitu pada nomor hadits 34 sebagai berikut:


“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada bentuk rupa kalian dan juga harta kalian, tetapi Dia melihat hati dan perbuatan kalian.” (HR.Muslim (2564/34)).


Maksud dari “tetapi Dia melihat hati dan perbuatan kalian” yaitu bahwa sesungguhnya yang Allah nilai dari hamba-Nya adalah hati dan perbuatannya. Bukan hanya hatinya saja atau perbuatannya saja. Apabila hanya hati yang diutamakan, pasti akan hilanglah sebagian syariat yang mulia ini. Tentu kaum muslimin tidak perlu bersusah payah menunaikan shalat lima waktu, berpuasa dibulan Ramadhan, membayar zakat dan sedekah atau bersusah payah menghabiskan harta dan tenaga untuk menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekah atau amal ibadah lainnya. Tentu para Sahabat tidak akan berlomba-lomba dalam beramal (beribadah) cukup mengandalkan hati saja, padahal mereka adalah sebaik-baik manusia di atas muka bumi ini. Akan tetapi justru sebaliknya mereka adalah orang yang sangat giat beramal. Perhatikanlah satu kisah indah diantara kisah-kisah indah lainnya. Urwah bin Zubair Radhiyallahu ‘anhu misalnya, ayahnya adalah Zubair bin Awwam, ibunya adalah Asma binti Abu Bakar, kakeknya Urwah adalah Abu Bakar Ash-Shidik, bibinya adalah Aisyah Radhiyallahu ‘anha (istri Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam). Urwah lahir dari nasab dan keturunan yang mulia, maka jangan ditanya tentang hatinya, ia adalah orang yang paling lembut hatinya akan tetapi ia masih giat beramal, bersedekah dan ketika shalat ia bagaikan sebatang pohon yang tegak tidak bergeming karena lamanya ia berdiri ketika shalat.


Aduhai,..betapa lalai dan bodohnya kita ini,..banyak memanjangkan angan-angan dan harapan. Padahal hati kita TIDAK LEBIH BAIK dibandingkan dengan generasi pendahulu (Salafush Shalih) yaitu para Sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Sallam.


Sekarang kami yang akan bertanya kepada ukhti: “Apakah yang akan saudari katakan saat ditanya oleh Allah Ta’ala tentang jilbabmu sedangkan disaat masih hidup sampai kematian menjemput, saudari belum juga berjilbab???”


[1] Lihat Al-Qur-an surat An-Nur ayat 31 dan surat Al-Ahzab ayat 59


[2] HR. Muslim (2564/33), dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu


sumber : www.Jilbab.or.id
Read more ...